Sejak muda, Soekarno sudah mulai terjun ke pergerakan nasional. Setidaknya Soekarno pernah belajar dari Haji Omar Said Tjokroaminoto, bapak kos sekaligus bapak mertuanya di Surabaya.
Sejak muda pula Soekarno kemudian menjadi musuh dari pemerintah kolonial. Sepeda juga saksi bisu yang mengantarkan ke banyak pertemuan politik yang sangat tidak disukai aparatur hukum kolonial. Jadi, sepeda itu tak hanya mengantarnya ke kampus saja, melainkan ke rumah kawan-kawannya yang terkait dengan pergerakan nasional yang dilakoninya.
Baca Juga:
Bersepeda demi Keamanan, Langkah Inovatif Polres Sibolga Wujudkan Ketertiban
Sepeda juga mengantarkannya menghindar dari aparat kolonial. Soekarno mengaku meletakkan sepedanya di atas rerumputan lalu melewati pematang sawah untuk diam-diam bertemu kawan-kawannya di dalam sebuah perkampungan.
Sepeda juga menjadi kebutuhan Soekarno di masa pembuangan. Termasuk di Bengkulu. Setelah dia mengalami pembuangan di Ende, Nusa Tenggara Timur.
Suatu hari, datang seorang pemuda bernama Hashim Ning bing Ismail Ning kepada Soekarno atas ajakan Raden Mas Rasjid. Darinya, Ning ikut memanggil Soekarno sebagai Bung Karno.
Baca Juga:
Anak Perwira TNI Terlihat Bersepeda Sebelum Tewas di Lanud Halim
Setelah mendengarkan Soekarno bicara soal Indonesia, Hashim Ning dalam pertemuan itu bertanya apa yang dibutuhkan Soekarno untuk diusahakan ayah Ning. Soekarno berpikir agak lama dan akhirnya memberi tahu apa yang dibutuhkan di Bengkulu.
"Aku butuh sepeda dan topi helm. Topi helm berwarna gading tua, bukan cokelat," katanya.
Seperti diingat Hashim Ning dalamPasang Surut Pengusaha Pejuang(1987:189) yang dilansir dariIntisari. Ia kemudian menelepon ayahnya soal itu, namun Soekarno kemudian menjelaskan sepeda apa yang diinginkannya.