Nilai investasi kereta cepat berdasarkan hitungan Jepang mencapai US$6,2 miliar, di mana 75 persennya dibiayai oleh Jepang berupa pinjaman bertenor 40 tahun dengan bunga 0,1 persen per tahun.
Namun, tiba-tiba saja China muncul dan melakukan studi kelayakan untuk proyek yang sama, setelah eks Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menandatangani nota kesepahaman kerjasama dengan Menteri Komisi Pembangunan Nasional dan Reformasi China Xu Shaoshi pada Maret 2015.
Baca Juga:
Tragedi Malam Natal, Masinis TGV Lompat dari Kereta Berkecepatan 300 Km/Jam
China kemudian menawarkan nilai investasi yang lebih murah, yakni sebesar US$5,5 miliar dengan skema investasi 40 persen kepemilikan China dan 60 persen kepemilikan lokal, yang berasal dari konsorsium BUMN.
Dari estimasi investasi tersebut, sekitar 25 persen akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun serta bunga 2 persen per tahun.
Selain itu, China menjamin pembangunan ini tak menguras dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia.
Baca Juga:
Awas! Ambil Bantal Kursi di Kereta Cepat, Penumpang Bisa Kena Sanksi Pidana
China memenangkan hati pemerintah Indonesia dalam membangun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Jika dihitung, proyek itu sudah berjalan sekitar lima tahun.
Anggaran Kereta Cepat Membengkak
Polemik baru pun terjadi. Direktur Keuangan & Manajemen Risiko KAI Salusra Wijaya melaporkan di harapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa kebutuhan investasi proyek tersebut membengkak dari US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,67 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS) menjadi US$8 miliar atau setara Rp114,24 triliun.