Ketika menelaah kembali dalam pasal-pasal tersebut, pada pasal 218 dan 220 tentang penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden salah satunya berbunyi “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan dan martabat diri Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan” (pasal 218).
Pasal tersebut memberi makna bahwa kedudukan hukum yang berbeda antara presiden/wakil presiden dengan warga lainnya. Hal ini justru tidak sejalan dengan iklim demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi Indonesia.
Baca Juga:
Densus 88 Belum Bisa Pastikan Motif Bom Polsek Astanaanyar Terkait KUHP
Selain itu pasal penghinaan presiden dan wakil presiden juga akan menimbulkan berbagai konflik kepentingan.
Di pasal lain, ada salah satu pasal yang sangat krusial ialah pasal 273 RKUHP dan Pasal 354 RKHUP. Pasal 273 memuat ancaman pidana penjara bagi penyelenggara pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum
"Dalam pasal 273 ini lagi-lagi memperlihatkan bahwa ada upaya mengekang kebebasan berpendapat. Padahal sebelumnya hanya sanksi administratif yaitu pembubaran namun sekarang menjadi sanksi pidana."
Baca Juga:
Aliansi Mahasiswa Kenang 5 Korban Aksi RKUHP 2019, Nyalakan Lilin di Depan Gedung DPR
"Tentu hal tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum," lanjut Nanan.
Dengan demikian RKUHP perlu dirancang secara transparan dan melibatkan partisipasi publik, karena RKUHP ini akan menjadi dasar hukum pidana di Indonesia yang akan berdampak langsung bagi kehidupan masyarakat luas. Sehingga, setiap kebijakan harus didasari oleh kepentingan rakyat.
"Sehingga kami Mendesak presiden dan DPR RI untuk membuka draf terbaru RKUHP dalam waktu dekat serta harus meninjau dan
membahas kembali pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP dengan menjunjung tinggi partisipasi publik," pungkasnya. [tsy]