WahanaNews-Garut | Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Institut Pendidikan Indonesia (IPI) Garut meminta presiden dan DPR terbuka soal draft RKUHP yang dinilai mengancam demokrasi.
Pada tahun 2019 lalu, dengan adanya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dinilai merugikan masyarakat minimbulkan aksi demonstrasi dan protes besar-besaran oleh mahasiswa dan masyarakat sipil dilakukan serentak di berbagai wilayah.
Baca Juga:
Densus 88 Belum Bisa Pastikan Motif Bom Polsek Astanaanyar Terkait KUHP
Kemudian pada akhirnya di tahun 2019 itu pula pengesahannya ditunda. Namun kini tepat di bulan Mei 2022 pembahasan itu kembali mencuat dan dimulai melalui rapat Komisi III DPR RI. Akan tetapi pihak dari DPR tersebut enggan untuk membuka draf RKHUP ini ke publik.
Hal tersebut pun menuai respons dari berbagai mahasiswa, salah satunya dari Menteri Luar Negeri BEM KBM IPI Nanan Nugraha.
Menurutnya hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah dan DPR RI mengulang kesalahan yang sama.
Baca Juga:
Aliansi Mahasiswa Kenang 5 Korban Aksi RKUHP 2019, Nyalakan Lilin di Depan Gedung DPR
"Hari ini pemerintah dan DPR telah kembali mengulangi kesalahan yang sama dengan tidak menjunjung tinggi transparansi dan partisipasi publik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan,"
ungkapnya dalam pernyataan tertulis.
“Hingga saat ini draf RKUHP yang baru belum disosialisasikan ke masyarakat umum, namun jika kilas balik pada draf pada bulan September 2019, terdapat 24 isu krusial dan kontroversi karena mengancam demokrasi dan dianggap sangat bermasalah,” lanjutnya.
Ada beberapa pasal substansi yang menjadi problematika, di antaranya adalah penyerangan harkat dan martabat presiden, kebebasan berpendapat, dan lainnya.
Ketika menelaah kembali dalam pasal-pasal tersebut, pada pasal 218 dan 220 tentang penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden salah satunya berbunyi “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan dan martabat diri Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan” (pasal 218).
Pasal tersebut memberi makna bahwa kedudukan hukum yang berbeda antara presiden/wakil presiden dengan warga lainnya. Hal ini justru tidak sejalan dengan iklim demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi Indonesia.
Selain itu pasal penghinaan presiden dan wakil presiden juga akan menimbulkan berbagai konflik kepentingan.
Di pasal lain, ada salah satu pasal yang sangat krusial ialah pasal 273 RKUHP dan Pasal 354 RKHUP. Pasal 273 memuat ancaman pidana penjara bagi penyelenggara pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum
"Dalam pasal 273 ini lagi-lagi memperlihatkan bahwa ada upaya mengekang kebebasan berpendapat. Padahal sebelumnya hanya sanksi administratif yaitu pembubaran namun sekarang menjadi sanksi pidana."
"Tentu hal tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum," lanjut Nanan.
Dengan demikian RKUHP perlu dirancang secara transparan dan melibatkan partisipasi publik, karena RKUHP ini akan menjadi dasar hukum pidana di Indonesia yang akan berdampak langsung bagi kehidupan masyarakat luas. Sehingga, setiap kebijakan harus didasari oleh kepentingan rakyat.
"Sehingga kami Mendesak presiden dan DPR RI untuk membuka draf terbaru RKUHP dalam waktu dekat serta harus meninjau dan
membahas kembali pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP dengan menjunjung tinggi partisipasi publik," pungkasnya. [tsy]