Hasil visum et repertum di RSCM, kepala Ida (62 tahun) mengalami luka memar. Selanjutnya, Margaretha menampar dahi Ida dan meninju dada sebelah kiri berkali-kali. Akibatnya, otot dada Ida mengalami cidera. “Istri saya sulit setiap bernafas dan kesakitan. Mau tidur telentang atau berbalik badan, ia selalu menjerit sakit,” ungkapnya.
Baik Djonggi, keponakannya, pengasuh anak-anak tersangka, dan dua cucunya menjadi saksi mata penganiayaan tersebut. “Saya hanya bisa berharap, cucu saya tidak mengalami trauma melihat perilaku ibunya yang menganiaya neneknya,” imbuhnya.
Baca Juga:
Menko Polhukam Ajak Pers Cegah Hoaks demi Negara Kondusif
Cabut Keterangan
Dalam perjalanan waktu, dua rekan tersangka yang ikut saat kejadian penganiayaan yakni, Nurdamewati Sihite dan Hairiya Marasabessi mencabut seluruh keterangan dalam BAP sesuai LP 251/K/X/2020/Sektor Menteng. Mereka juga mencabut BAP di Polda Metro Jaya LP 115/III/Yan.2.5/2021/SKPT-PMJ. Bahkan, teman yang menjadi kuasa hukum tersangka pun enggan menangani kasus tersebut. Menurut para saksi ini, tersangka tidak jujur dalam memberikan keterangan.
Tidak hanya mencabut keterangan di polisi, rekan tersangka juga mengunjungi kantor Djonggi Simorangkir di Bandung. Mereka sendiri yang datang ke rumah saya untuk minta maaf. Tanpa ada yang memaksa atau mengancam, karena rasa bersalah dan takut akan dosa. Apalagi, setelah melihat rekaman video peristiwanya secara utuh.
Margaretha Sihombing kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Hanya saja dalam dua panggilan polisi, ia tidak hadir.
Baca Juga:
Jaga Situasi Kondusif, Menko Polhukam Ajak Media Cegah Hoaks
Menantu Memalukan
Djonggi dengan nada berat mengaku tidak menyangka perilaku mantunya sangat jahat dan tidak bermoral. “Ternyata jauh panggang dari api. Padahal, saya bantu dia jadi advokat di Pengadilan Tinggi Jakarta, kuliahkan Notariat di Universitas Padjajaran Bandung, dan mengambil spesialis kurator di Jakarta. Saya memberikan segala macam fasilitas termasuk tabungan ratusan juta rupiah, perhiasan mahal satu set, termasuk untuk cucu, tetapi tidak berterima kasih. Ia kabur tidak mau pulang ke Bandung dengan alasan kerja di Jakarta gaji Rp25 juta. Ia seharusnya menemani suaminya sebagai jaksa di Bandung dan mengurus kedua puterinya. Juga saya beri tempat tinggal yang baik dengan segala fasilitas mobil, pembantu, makan tidak bayar, tabungan untuk cucu-cucu senilai ratusan juta rupiah, dan lain-lain. Justru ia menganiaya dan mengancam mertuanya yang sudah jadi seorang nenek (ompung) dan menjelekkan nama baiknya,” urai Djonggi.
Awalnya, Djonggi berpikir tersangka orang baik lantaran berasal dari keluarga terhormat. Bapaknya pendeta (mantan Sekjen HKBP) dan ibunya seorang guru. “Ternyata, saya salah. Dia sudah dibutakan oleh harta dunia,” ujarnya penuh penyesalan. (JP)