WahanaNews Jabar | DR. Djonggi Simorangkir seorang pakar hukum dan advokat senior menanggapi pemberitaan media online tanggal 30 September 2021 yang mengatakan bahwa anaknya Theo Simorangkir SH bersama sekelompok preman menyekap istrinya Margaretha Elfrieda Sihombing dan kedua anaknya di sebuah apartemen di daerah Jakarta Barat.
”Itu semua berita bohong dan fitnah, mana mungkin Theo yang seorang Jaksa di Bandung yang juga adalah penegak hukum melakukan penyekapan. Yang sebenarnya terjadi adalah Theo bersama adiknya, pengacaranya dan supirnya mendatangi tempat tinggal Margareta dan anak-anaknya. Sudah sembilan bulan Theo tidak bisa bertemu dengan anak-anaknya, sebagai seorang ayah adalah wajar bila Theo ingin bertemu anak-anaknya tapi selalu dihalangi oleh Margaretha. Masa Anak saya tidak boleh bertemu buah hatinya selama 9 bulan? Sungguh keji ini," ucap Djonggi.
Baca Juga:
Menko Polhukam Ajak Pers Cegah Hoaks demi Negara Kondusif
Lanjut Djonggi, melalui sambungan telephone (2/10/2021) menerangkan berita fitnah yang disebarkan pihak Margaretha dan kuasa hukumnya tidak masuk akal "Bayangkan di sebuah apartemen tentu ada security dan lobby, mana mungkin kita bisa masuk keatas tanpa akses, sementara Theo tidak punya akses ke apartemen tersebut," tandasnya.
Untuk itu, Djonggi berjanji akan melaporkan ke polisi dan mempidanakan orang-orang yang sudah membuat berita fitnah, berita kebohongan yang sudah mencemarkan nama baik keluarganya.
“Margaretha sekarang sudah buronan Polsek Menteng sebagai tersangka, orang-orang yang menghalangi tugas kepolisian dapat di pidana. Sementara yang membawa preman ke Apartement di daerah Puri Kembangan tersebut adalah Pdt Mori Sihombing didampingi Isterinya Juniar Bella dan anaknya Dame Sihombing yang dahulu pernah bekerja di Perusahaan milik Konglomerat," terang Dhonggi.
Awal Mula Kasus
Baca Juga:
Jaga Situasi Kondusif, Menko Polhukam Ajak Media Cegah Hoaks
Djonggi menjelaskan awal mula kasus ini ketika istrinya Dr. Ida Rumindang Radjagukguk mengalami penganiayaan yang pelakunya adalah menantunya sendiri Margaretha Elfrieda Sihombing.
Penganiayaan itu terjadi di Apartemen Menteng, Jakarta, Kamis (22/10/2020) malam. Ketika itu, tersangka datang bersama tiga temannya, Nurdamewati Sihite, Hairia Marasabessi, dan Bachtiar Marasabessi.
Tersangka yang tadinya hanya mau menjemput anaknya tiba-tiba membuat keributan. “Istri saya tiba-tiba didorong keras hingga kepalanya terbentur siku atas lemari kaca,” kisah Djonggi.
Hasil visum et repertum di RSCM, kepala Ida (62 tahun) mengalami luka memar. Selanjutnya, Margaretha menampar dahi Ida dan meninju dada sebelah kiri berkali-kali. Akibatnya, otot dada Ida mengalami cidera. “Istri saya sulit setiap bernafas dan kesakitan. Mau tidur telentang atau berbalik badan, ia selalu menjerit sakit,” ungkapnya.
Baik Djonggi, keponakannya, pengasuh anak-anak tersangka, dan dua cucunya menjadi saksi mata penganiayaan tersebut. “Saya hanya bisa berharap, cucu saya tidak mengalami trauma melihat perilaku ibunya yang menganiaya neneknya,” imbuhnya.
Cabut Keterangan
Dalam perjalanan waktu, dua rekan tersangka yang ikut saat kejadian penganiayaan yakni, Nurdamewati Sihite dan Hairiya Marasabessi mencabut seluruh keterangan dalam BAP sesuai LP 251/K/X/2020/Sektor Menteng. Mereka juga mencabut BAP di Polda Metro Jaya LP 115/III/Yan.2.5/2021/SKPT-PMJ. Bahkan, teman yang menjadi kuasa hukum tersangka pun enggan menangani kasus tersebut. Menurut para saksi ini, tersangka tidak jujur dalam memberikan keterangan.
Tidak hanya mencabut keterangan di polisi, rekan tersangka juga mengunjungi kantor Djonggi Simorangkir di Bandung. Mereka sendiri yang datang ke rumah saya untuk minta maaf. Tanpa ada yang memaksa atau mengancam, karena rasa bersalah dan takut akan dosa. Apalagi, setelah melihat rekaman video peristiwanya secara utuh.
Margaretha Sihombing kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Hanya saja dalam dua panggilan polisi, ia tidak hadir.
Menantu Memalukan
Djonggi dengan nada berat mengaku tidak menyangka perilaku mantunya sangat jahat dan tidak bermoral. “Ternyata jauh panggang dari api. Padahal, saya bantu dia jadi advokat di Pengadilan Tinggi Jakarta, kuliahkan Notariat di Universitas Padjajaran Bandung, dan mengambil spesialis kurator di Jakarta. Saya memberikan segala macam fasilitas termasuk tabungan ratusan juta rupiah, perhiasan mahal satu set, termasuk untuk cucu, tetapi tidak berterima kasih. Ia kabur tidak mau pulang ke Bandung dengan alasan kerja di Jakarta gaji Rp25 juta. Ia seharusnya menemani suaminya sebagai jaksa di Bandung dan mengurus kedua puterinya. Juga saya beri tempat tinggal yang baik dengan segala fasilitas mobil, pembantu, makan tidak bayar, tabungan untuk cucu-cucu senilai ratusan juta rupiah, dan lain-lain. Justru ia menganiaya dan mengancam mertuanya yang sudah jadi seorang nenek (ompung) dan menjelekkan nama baiknya,” urai Djonggi.
Awalnya, Djonggi berpikir tersangka orang baik lantaran berasal dari keluarga terhormat. Bapaknya pendeta (mantan Sekjen HKBP) dan ibunya seorang guru. “Ternyata, saya salah. Dia sudah dibutakan oleh harta dunia,” ujarnya penuh penyesalan. (JP)