WahanaNews-Sukabumi | Sejak dulu kopi jadi komoditas penting di Indonesia. Siapa sangka pada era kolonial, kopi bahkan jadi alat tukar berharga yang bisa membayar pajak pada pemerintah Belanda saat itu.
Sejarah kopi di Indonesia begitu panjang dan menarik. Belum banyak orang tahu kalau dahulu biji kopi bisa dinilai sangat berharga.
Baca Juga:
Harga Biji Kopi Robusta di Kabupaten Lampung Barat Alami Lonjakan
Seperti halnya biji kopi Sukabumi yang dikenal sebagai 'emas hitam' pada masa kolonial Belanda. Dahulu warga pribumi diwajibkan menanam kopi agar hasilnya bisa dijadikan alat membayar pajak.
Hal ini disampaikan pegiat sejarah dan pelaku usaha kopi di Sukabumi. Ketua Yayasan Dapuran Kipahari, Irman Firmansyah mengatakan, kebijakan membayar pajak dengan komoditas kopi itu berlangsung dari tahun 1713 sampai 1800-an.
"Setahu saya leverantier zaman Preanger Stelsel adalah penyerahan wajib kopi. Kalau zaman Raffles dari hasil produk bruto pajaknya, komoditasnya tak hanya kopi," kata Irman.
Baca Juga:
Sebuah Rumah di Sukabumi Ambruk Akibat Longsor, 1 Orang Tertimbun Material
Ada juga yang disebut dengan Contingenten, yaitu pajak yang ditentukan VOC dari hasil komoditas termasuk biji kopi. Pada zaman VOC, kopi menjadi komoditas primadona sehingga pajak terbanyak yang diterima berasal dari kopi.
"Kalau preanger stelsel memang fokusnya Jawa Barat termasuk Sukabumi, karena VOC menguasai penuh sesudah diserahkan dari Mataram, sedangkan Culture Stelsel zaman Belanda ada juga di luar Jawa barat," sambungnya.
Rafindra Jabar (27) pengelola Mason Coffee menambahkan, berbagai literatur menyebutkan, tanah Sukabumi yang subur dimanfaatkan 'habis-habisan' oleh kolonial Belanda untuk menanam kopi.
"Waktu dulu zaman penjajahan itu orang ketika bayar pajak pada penjajah itu ya dia harus bayar dengan biji kopi," kata Rafindra.
Tanah yang dijadikan untuk menanam biji kopi itu disediakan pemerintah Belanda, sedangkan pribumi berkewajiban menanam bibit, membudidayakan, memanen hingga menyerahkan hasil panen kopi kepada mereka.
"Dia harus memiliki biji kopi tersebut. Jadi si penjajah menyediakan lahan, ditanam dan kita harus mengurus itu. Jadi setor ke penjajah," ujarnya.
Bukan tanpa alasan, biji kopi yang didapat dari pajak itu kemudian dijual ke luar negeri. Biji kopi Sukabumi menghasilkan citarasa khas hingga diminati mancanegara.
"Jadi dijual lagi ke luar negeri, mungkin dari segi tanah di kita subur banget, dengan cuaca yang sangat cocok, tingkat panasnya juga bagus. Nah itu bisa berpengaruh pada cita rasa si biji kopi tersebut," ucapnya.
Rafindra mengatakan kopi Sukabumi sebagai alat bayar pajak memang tinggal cerita, tapi ia berharap cita biji kopi Sukabumi sebagai produk berkualitas terus dipertahankan.[zbr]