Kartini menegaskan warganya sadar mereka tinggal di atas lahan milik negara. Namun menurutnya, warga sudah tinggal di lokasi itu sudah berpuluh tahun bahkan saat kondisi tanah masih berupa semak-semak.
"Warga di sini sadar bahwa mereka itu tidak mengakui lahan yang ada di sini, cuma mereka meminta seperti apa bangunan warga. Kami tidak muluk-muluk (misalkan) ingin satu menjadi dua rumah, kami hanya ingin tadinya punya rumah nanti bisa bangun rumah kembali. Aturan itu kan sudah ditentukan pemerintah," jelas Kartini.
Baca Juga:
Sekjen GEKIRA Partai Gerindra: Pemilukada Damai Bukti Rakyat Cerdas
"Rata-rata (warga) sudah tinggal dari 1988, warga paham ini bukan hak mereka, dulunya lahan tidak bertuan, rumput juga dan semak tinggi-tinggi," sambung dia.
Sebuah plang larangan berisi tulisan berdiri di beberapa lokasi, tulisan dalam plang itu: Tanah Milik Pertamina (Persero) DILARANG merusak, menghilangkan papan, menggarap, memasuki, tanpa ijin PT Pertamina. Melanggar pasal 167 Jo pasal 389 Jo pasal 406. Dengan ancaman kurungan penjara.
Terkait keluhan warga tersebut sudah berupaya untuk melakukan konfirmasi ke pihak Pertamina, namun pihak Pertamina meminta waktu untuk buka suara berkaitan hal tersebut.
Baca Juga:
Pj Sekda Dairi Paparkan Potensi Kerawanan Jelang Pilkada
"Kami juga menunggu arahan pimpinan kami. Karena permasalahan itu sudah di-handle oleh pusat. Jadi biar efektif kami koordinasi juga," kata salah salah seorang staf Pertamina melalui aplikasi perpesanan. [kaf]