WahanaNews-Depok | Harusnya hari ini (Kemarin) revisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Jaminan Hari Tua (JHT). Tapi kenyataannya hasilnya belum juga keluar. Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah meminta Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah menyelesiakan revisi sampai 4 Maret 2022.
Sekretaris Konsulat Cabang FSPMI Kota Depok, Slamet Riyadi menyebutkan, revisi Peraturan Menteri (Permen) tersebut tidak akan menyelesaikan polemik yang sedang terjadi. Dengan tegas, dia meminta agar Presiden dan Menaker untuk mencabut kembali Permenaker Nomor 2 Tahun 2020. “Pendapat saya lebih baik dicabut. Karena, kalau direvisi justru akan tambah aturan yang lebih ribet.
Baca Juga:
Pebalap Depok Bikin Merah Mutih Berkibar di Mandalika
Slamet menerangkan, Permen tersebut wajib dicabut. Karena tidak memenuhi rasa keadilan bagi buruh. Mengingat, didalamnya terdapat aturan mengenai pencairan dana JHT, yang justru dianggap merugikan para pekerja maupun buruh. “JHT murni uang tabungan buruh, untuk buruh disaat purna kerja atau tidak bekerja lagi untuk modal hidup sampe di hari tuanya.
Dia memprediksi, jika Permenaker tersebut jadi direvisi. Maka, hasilnya tidak akan berpihak kepada pekerja atau buruh. Slamet menyarankan, agar pemerintah tidak perlu lagi memperbarui aturan mengenai, ketenagakerjaan. Sebab, semakin menimbulkan polemik atau kerugian. “Kebanyakan aturan yang isinya justru mengurangi perlindungan pekerja, mengurangi hak pekerja dan membuat ribet pekerja.
Sementara itu, perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Depok, Sugino mengatakan, Permenaker yang kini menimbulkan polemik itu merupakan perubahan atas Permenaker Nomor 19 Tahun 2015. “Jadi sebelumnya, pekerja yang terkena PHK bisa mencairkan dana tersebut setelah sebulan kemudian dengan mengurus paklaring terlebih dahulu.
Baca Juga:
Lebih Dekat dengan Lurah Pancoranmas, Mohammad Soleh: Dari Gowes, Sambangi Warga Bantaran Kali
Dia memaparkan, pada aturan Menaker yang terbaru, ada ketentuan usia dalam mengambil JHT yakni 56 Tahun setelah berhenti bekerja. Kecuali, meninggal atau cacat tetap. “Artinya, kalau orang yang pensiun di usia 55 Tahun harus menunggu satu tahun kemudian untuk mencairkan dana tersebut.
Menurut Sugino, pekerja atau buruh membutuhkan fleksibelitas dalam aturan yang dibuat pemerintah. Seperti, aturan sebelumnya. “Jadi, teman-teman buruh atau pekerja sudah nyaman dengan peraturan sebelumnya. Sehingga, ketika dirubah maka timbul polemik,” ucapnya.
Lebih dalam, dia menganalogikan, aturan Menaker yang baru itu sama saja membangunkan ‘macan’ yang sedang tertidur pulas. Pasalnya, dengan aturan tersebut ada peraturan batas waktu yang membuat buruh atau pekerja terbentur akan permasalahan ekonomi. “Kalau direvisi, harus ada nilai positif untuk buruh, buruh tidak mau dengan pembatasan waktu itu. Walaupun sebenarnya, BPJS itu lebih besar bunganya.