"Karena terbukti kondisi jalan makin macet," imbuh dia.
Kerugian materi dan kualitas hidup Akibat kemacetan ini, kerugian yang dialami warga tak hanya soal waktu, melainkan juga biaya, tenaga, dan kualitas hidup.
Baca Juga:
Dukung Konektivitas Transportasi Jakarta, PLN Perkuat Ekosistem Kendaraan Listrik Berkelanjutan
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna pernah menghitung, kerugian material akibat kemacetan di Jalan Alternatif Transyogi tersebut senilai Rp 100 miliar per bulan.
Angka tersebut berdasarkan asumsi satu warga menghabiskan sekitar Rp 5 juta per bulan untuk ongkos mobilitas.
"Jika dikalikan 200.000 jumlah perjalanan, maka kerugian material yang harus ditanggung masyarakat sekitar Rp 100 miliar per bulan," kata Yayat.
Baca Juga:
Pemkot Bogor Percepat Pembangunan Moda Trem, Ini Rutenya
Terhadap persoalan ini, Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana (IAP) Bernardus Djonoputro mengatakan, Gubernur Jawa Barat harus serius memerhatikan dampak lingkungan dari pengembangan kawasan Cibubur, Cileungsi, dan juga Jonggol.
Penambahan pasokan perumahan sekitar Megapolitan Jabodetabek ini tercipta karena menghadapi pertumbuhan penduduk yang demikian pesat.
Fenomena arah perkembangan kawasan metropolitan Jakarta-Depok-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jadebotabek) termasuk di sepanjang "jalur neraka", sebutan lain dari Jalan Alternatif Transyogi, hanya dipicu oleh pertimbangan komersial para pengembang.