WahanaNews-Cileungsi | Penderitaan yang harus dialami warga Cibubur-Cileungsi untuk melintasi Jalan Alternatif Transyogi, hari ini, Senin (19/9/2022) sangat luar biasa.
Mereka harus berjibaku dengan kemacetan selama berjam-jam akibat uji coba penutupan putaran balik atau U-turn di depan Sekolah Al-Azhar Syifa Budi, yang rencananya berlangsung hingga Jumat (23/9/2022).
Baca Juga:
Dukung Konektivitas Transportasi Jakarta, PLN Perkuat Ekosistem Kendaraan Listrik Berkelanjutan
Khoriatul Hasanah, karyawan swasta, harus menempuh waktu tiga jam dari rumahnya di Cluster Montreal Perumahan Kota Wisata Cileungsi menuju sebrang gerbang utama yang terhubung langsung dengan Jalan Alternatif Transyogi. Padahal, jarak tempuh dari rumah menuju sebrang gerbang utama hanya 1,5 kilometer.
"Saya berangkat dari rumah pukul 05.55 WIB, sampai depan (sebrang) gerbang sekitar pukul 09.00. Ini sama dengan waktu tempuh dari Jakarta ke Cirebon, tiga jam," tutur Hasanah.
Penutupan U-turn ini dianggap bukan solusi tepat untuk mengurai kemacetan yang terjadi setiap hari di Jalan Alternatif Transyogi.
Baca Juga:
Pemkot Bogor Percepat Pembangunan Moda Trem, Ini Rutenya
Sebaliknya, menurut Denti yang juga warga penghuni Cluster Montreal, malah menambah parah kemacetan. Kendaraan yang dikemudikannya stuck tak bergerak di depan kantor PT Bukaka Teknik Utama Tbk yang cuma berjarak 2 kilometer dari kediamannya.
"Sebaiknya, sebelum menerapkan rekayasa lalu lintas berupa penutupan U-turn, harus dikaji dulu. Pemerintah harus memperhatikan dampaknya. Ini mah asal-asalan. Coba berapa puluh ribu orang yang dirugikan hari ini? Siapa yang mau bertanggungjawab kalau sudah macet parah seperti ini?" keluh Denti.
Julianti Sri Mumpuni, wiraswasta sektor UMKM pun berharap, penerapan rekayasa lalu lintas ini ditinjau ulang. Bila perlu diurungkan.
"Karena terbukti kondisi jalan makin macet," imbuh dia.
Kerugian materi dan kualitas hidup Akibat kemacetan ini, kerugian yang dialami warga tak hanya soal waktu, melainkan juga biaya, tenaga, dan kualitas hidup.
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna pernah menghitung, kerugian material akibat kemacetan di Jalan Alternatif Transyogi tersebut senilai Rp 100 miliar per bulan.
Angka tersebut berdasarkan asumsi satu warga menghabiskan sekitar Rp 5 juta per bulan untuk ongkos mobilitas.
"Jika dikalikan 200.000 jumlah perjalanan, maka kerugian material yang harus ditanggung masyarakat sekitar Rp 100 miliar per bulan," kata Yayat.
Terhadap persoalan ini, Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana (IAP) Bernardus Djonoputro mengatakan, Gubernur Jawa Barat harus serius memerhatikan dampak lingkungan dari pengembangan kawasan Cibubur, Cileungsi, dan juga Jonggol.
Penambahan pasokan perumahan sekitar Megapolitan Jabodetabek ini tercipta karena menghadapi pertumbuhan penduduk yang demikian pesat.
Fenomena arah perkembangan kawasan metropolitan Jakarta-Depok-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jadebotabek) termasuk di sepanjang "jalur neraka", sebutan lain dari Jalan Alternatif Transyogi, hanya dipicu oleh pertimbangan komersial para pengembang.
Akibatnya, tarikan lalu lintas dari penambahan pasokan perumahan ini akan langsung menambah beban jalur ke arah Jagorawi dan koridor Cibubur-Cileungsi dan juga Jonggol yang sudah begitu parah saat ini.
"Padahal, pertimbangan utama membangun perumahan dan fasiltas-fasiltas kawasan adalah untuk menciptakan ruang kota yang nyaman," ujar Bernardus, Senin (19/9/2022).
Dalam survei kenyamanan kota Most Livable City Index IAP, lalu lintas dan kemacetan merupakan salah aspek yang sangat mempengaruhi kenyamanan sebuah kota.
Untuk itu seharusnya Pemerintah Provinsi Jawa Barat membuat Traffic Impact Assessment khusus sebagai tambahan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Walaupun akan ada trase pembangunan light rail transit (LRT) dan Tol Cimanggis-Cibitung JORR 2, seharusnya perencanaannya terintegrasi dalam rencana pengembangan kawasan tersebut.
Permasalahan pengembangan perkotaan di daerah yang termasuk dalam kawasan Metropolitan Bogor-Tangerang-Bekasi-Karawang-Puncak-Cianjur (Botabekkarpur) pasca dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat harus secara serius ditindaklanjuti.[zbr]