Jabar.WahanaNews.co | Bertepatan dengan Hari Buruh Internasional kemarin, Presiden Joko Widodo mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada pekerja dan buruh. Menurutnya, kerja keras pekerjalah yang terus membuat roda ekonomi terus bergulir dan bergerak maju.
Permasalahan bangkit dari ekonomi ini terus dibunyikan dalam beberapa waktu terakhir. Angka-angka indikator juga dilempar ke publik sebagai bukti bahwa perekonomian berangsur pulih setelah tergerus Covid-19. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani pun optimistis pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5 persen tahun ini.
Baca Juga:
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kaltara Bagikan 1675 Paket Bahan Pokok
Nyatanya angka-angka itu tak berarti banyak bagi kantong buruh. Tak juga bisa dijadikan senjata menghadapi kenaikan harga yang datang silih berganti, mulai dari kedelai, minyak goreng, hingga yang teranyar ancaman kenaikan harga listrik atau BBM.
Beberapa orang buruh mengungkapkan keluh kesah mereka pada Hari Buruh Internasional kemarin tentang hal ini.
Ali (49), salah seorang pekerja kerah biru dari kawasan Karawang, Jawa Barat, mengaku belum merasakan perbedaan yang berarti pasca-Pandemi Covid-19.
Baca Juga:
Puncak May Day, Plt Wali Kota Bekasi Tekankan Pekerja Harus Terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan
Ia tak menampik bila pada lebaran kali ini sudah ada perbaikan dari segi pembayaran THR bagi pekerja. Hanya saja, kata dia, gaji yang sebelumnya sempat terpangkas akibat Pandemi Covid-19 masih belum kembali ke kondisi normal.
"Belum berasa sih sejauh ini. Kalau untuk THR memang iya, tahun ini dibayarkan secara penuh dan sesuai jadwal," ujarnya.
Kondisi itu menurutnya kian diperparah dengan harga-harga bahan pokok yang melambung di bulan puasa. Oleh sebab itu, Ali menilai, perbaikan ekonomi yang sempat digembar-gemborkan pemerintah terasa semu.
"Gak ngaruh apa-apa sih kalau bagi saya. Malah tetap pusing juga dengan harga-harga yang naik. Apalagi minyak goreng," tuturnya.
Nasib serupa juga dirasakan oleh Rizal Reinden (45), seorang buruh garmen asal Bogor, Jawa Barat. Rizal menuturkan, kebanyakan buruh Garmen di Bogor masih belum mendapatkan gaji seperti sedia kala.
Rizal misalnya. Usai mendapatkan potongan gaji sebesar Rp400.000 ketika pandemi Covid-19, kenaikan upah yang ia rasakan saat ini hanya sebesar Rp200.000 saja. Sehingga, untuk gaji normal pun masih belum ia dapatkan sampai sekarang.
"Gaji normal itu dulu di UMP sekitar 4,2 juta, ketika Covid-19 lagi tinggi, dipotong 10 persen. Sekarang baru naik jadi 4 juta, jadi belom balik," jelasnya.
Meski begitu, Rizal mengatakan, untuk pembayaran THR pada lebaran kali ini sudah jauh lebih baik ketimbang sebelumnya.
"Cuma THR doang yang sudah normal. Dibayar full satu kali gaji tanpa dicicil dan sebelum lebaran," jelasnya semringah.
Ia kini masih pusing memutar otak agar pendapatannya itu dapat mencukupi harga-harga kebutuhan pokok yang saat ini sedang menggila. Harapannya pemerintah hanya satu: kestabilan harga barang pokok sehingga para pekerja seperti dirinya bisa turut mengklaim perekonomian membaik.
"Untung saja THR udah normal. Kayak gini aja masih pusing mau lebaran, apalagi kalau masih dicicil," tuturnya.
Berbeda dengan Ali dan Rizal, nasib baik masih menghampiri Heri (42) buruh asal Bekasi, Jawa Barat. Heri bersyukur, perusahaan tempat ia bekerja telah kembali membayar gaji karyawannya seperti sedia kala.
Begitu pula untuk pembayaran tunjangan hari raya. Karenanya, ia merasa, sudah bisa melonggarkan ikat pinggang pada lebaran tahun ini.
"Kalau saya sendiri Alhamdulillah semuanya sudah normal. Kayak dulu lagi lah sekarang," ujarnya.
Kendati demikian, dirinya juga masih merasakan keberatan dengan harga-harga bahan pokok yang saat ini sudah selangit. Heri juga menolak rencana pemerintah yang ingin menaikkan harga Pertalite dan LPG 3 kg.
Menurutnya, kenaikan harga pada dua barang tersebut dipastikan akan berimbas pada komoditas bahan pokok lainnya.
"Sudah susah-susah balik ke normal lagi pendapatannya, eh malah sekarang ongkosnya yang jadi melonjak," pungkasnya.[gab]