Terlebih, beberapa tahun terakhir, berbagai makanan minuman dengan tambahan topping gula, sirop ataupun kental manis yang melimpah menjadi viral dikalangan masyarakat. Seolah tak pandang usia, anak-anak, remaja hingga dewasa sangat menggemarinya.
Dikalangan sejumlah pemerhati publik, fenomena ini dinilai mengkhawatirkan. Pasalnya, edukasi mengenai kandungan zat dalam makanan dan pengaruhnya terhadap tubuh juga masih minim di masyarakat.
Baca Juga:
Pemprov dan Badan Gizi Nasional Bahas Pelaksanaan MBG di Kalteng
Selain itu, pemerintah pun terlihat abai dengan persoalan ini. Terkait susu kental manis misalnya. Pemerintah memang telah menerbitkan aturan mengenai label dan penggunaannya. Namun sosialisasi ketentuan tersebut terlihat minim. Maka tak heran, hingga saat ini masih ditemukan konsumsi kental manis pada balita.
Disisi lain, Pengamat Kebijakan Publik, Sofie Wasiat menilai, kurangnya edukasi dan sosialisasi mengakibatkan masih banyak masyarakat Indonesia yang salah persepsi terhadap kental manis.
"Selama puluhan tahun kental manis dipahami memiliki kadar gizi yang tinggi bagi pertumbuhan anak sehingga disetarakan dengan susu sapi pada umumnya,” ujar Sofie.
Baca Juga:
Pemkab Katingan Kalteng Optimalkan Peran TPPS untuk Antisipasi dan Turunkan Angka Stunting
Ia menilai, pada kenyataannya, konsumsi kental manis saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pada anak, atau bahkan untuk dapat menggantikan ASI.
Ia juga berpendapat jika itu merupakan permasalahan serius yang memang perlu untuk ditangani oleh pemerintah dan didukung oleh seluruh elemen masyarakat.
Edukasi kental manis harus juga diintegrasikan dengan edukasi program prioritas stunting, agar mendapatkan dukungan dari banyak pihak dan dapat dilakukan secara masif di setiap daerah oleh berbagai institusi dan lembaga.