WahanaNews Jabar | Para petani garam Cirebon mengeluarkan semua keluh kesahnya di hadapan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko saat berkunjung ke Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (8/10/2021).
Petani garam meminta Moeldoko untuk menyampaikan dan membuat kebijakan yang bisa meningkatkan kesejahteraannya, mengingat kebijakan impor garam yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini membuat harga garam anjlok dan berdampak terhadap pendapatan para petani.
Baca Juga:
Terkait Polemik Razia RM Padang non-Minang di Cirebon Polisi Lakukan Mediasi
"Banyak permasalahan di petani garam. Salah satunya soal harga yang terus anjlok. Karena, di sini petani tidak bisa menjual langsung ke perusahaan atau PT. Kami menjualnya ke tengkulak, dan harganya ditentukan tengkulak," kata Ismail Marzuki (34), petani garam.
Ismail mengatakan harga garam rakyat di Cirebon sempat dihargai Rp 100 per kilogramnya. Kondisi demikian membuat petani kesulitan untuk menutupi ongkos produksi. Garam hasil produksi petani pun menumpuk di gudang. Kondisi demikian, dikatakan Ismail, dipengaruhi dengan beredarnya garam impor di pasaran.
"Saat ini harga garam Rp 500 per kilogramnya. Pada Juli hingga Agustus sempat Rp 300 per kilogramnya," ucapnya.
Baca Juga:
PT Rohto Laboratories dan Bank Resona Perdania Bagikan Kacamata Gratis Hari Penglihatan Sedunia
"Garam di sini melimpah. Pemerintah jangan membuat kebijakan impor garam. Katanya garam lokal tidak bagus kualitas untuk industri. Padahal, kami siap bersaing," tutur Ismail menambahkan.
Selain mengeluhkan harga yang anjlok karena persaingan dengan garam impor, dia juga meminta agar pemerintah menerbitkan kebijakan terkait harga eceran tertinggi (HET) untuk garam rakyat. Selama ini, lanjut Ismail, harga garam petani disesuaikan dengan keinginan tengkulak.
"Pemerintah juga harus menentukan kebijakan HET garam. Sebab, selama ini belum ada HET garam sehingga harga dapat mudah dipermainkan oleh pasar maupun oknum lainnya," ujar Ismail.
Senada disampaikan Camat Pangenan Bambang Setiadi. Menurutnya, dalam beberapa tahun terakhir harga garam selalu anjlok. Bambang mempertanyakan soal regulasi peningkatan kualitas petani garam. Ia juga menyinggung soal kebijakan impor.
"Kita berpacu dengan impor. Memang ada kewajiban untuk impor, tapi di sisi lain kami ingin mempertahankan industri garam agar tak tersisihkan," ucapnya.
"Kita ingin ada kepastian regulasi soal garam rakyat. Ini tentu berkaitan dengan kesejahteraan petani garam," kata Bambang.
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengaku telah menyiapkan skema impor yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dilakukan demi menjaga harga garam petani.
Dia mengatakan selama ini terjadi kebocoran garam ke pasar. "Nantinya impor tidak diserahkan pihak ketiga. Jadi langsung diserahkan ke industri atau ke penggunanya. Sekarang ini terjadi kebocoran, penyimpangan. Garam yang harusnya untuk industri, akhirnya bocor ke pasar. Karena harganya lebih murah. Akhirnya merugikan garam petani," tutur Moeldoko.
Moeldoko menjelaskan alasan pemerintah untuk tetap menerbitkan kebijakan impor garam. Menurut dia, produksi garam lokal yang tak sesuai kebutuhan. Dalam sambutannya, Moeldoko mengatakan, kebutuhan garam nasional mencapai sekitar 4 juta ton per tahun. Kebutuhan garam ini mayoritas diperuntukkan untuk industri, yakni sekitar 3,7 juta ton.
"Sedangkan kemampuan produksi garam lokal kita itu pada 2020 baru 1,365 juta ton. Kenapa kita harus impor, karena industri itu butuh garam," ujarnya.
"Kalau kebutuhan industri terhambat. Maka bisa berpengaruh terhadap produksi bahkan aktivitas ekspor," kata Moeldoko menambahkan.
Dia menjamin pemerintah tegas terkait kebijakan impor. Moeldoko memastikan tak ada lagi persaingan di pasar antara garam impor dan lokal. "Kita benar benar mengarah ke sana. Ini sungguh-sungguh," ucapnya. (JP)