WahanaNews Jabar | Guna menurunkan emisi karbon sebagaimana yang telah ditargetkan pemerintah indonesia, salah satunya dengan pengurangan pemakaian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Namun demikian, hal ini dinilai membutuhkan biaya yang sagat besar.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, Indonesia membutuhkan dana Rp3.500 triliun. Estimasi dana ini berasal dari biaya kompensasi terhadap pembangkit yang masih berjalan. Begitu juga pembangkit yang sudah terlanjur masuk kontrak bisnis PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Baca Juga:
Pemkab Batang Apresiasi Kontribusi PT Bhimasena Power dalam Layanan Kesehatan dan Pembangunan
"Jika PLTU ditutup sedangkan kontraknya masih efektif ini akan menjadi masalah bisnis kalkulasi. Berapa banyak kompensasi yang harus disediakan," ujar Suahasi melansir wahananews.co, Kamis (28/10).
Kendati begitu, pemerintah tidak bisa sendiri menutup kebutuhan dana tersebut dari penerimaan pajak. Untuk itu, pemerintah berusaha mendapat pendanaan internasional.
Salah satunya dari negara-negara yang akan hadir di The COP 26 UN Climate Change Conference. Acara tersebut akan berlangsung di Glasgow, Skotlandia pada 31 Oktober sampai 12 November 2021.
Baca Juga:
Usut Tuntas Skandal Proyek PLTU 1 Kalbar, ALPERKLINAS: Jangan Sampai Pasokan Listrik ke Konsumen Terhambat
"Kami berharap COP26 bisa menjadi milestone dimana dukungan internasional bisa diwujudkan," ucapnya.
Di sisi lain, Suahasil mengatakan penggunaan PLTU harus dikurangi untuk mencapai target penurunan emisi karbon karena pembangkit ini menjadi sumber emisi karbon yang cukup besar bagi Indonesia. Kontribusinya mencapai 35 persen dari total emisi karbon di dalam negeri.
"Mayoritas konsumsi listrik kita diproduksi dari batu bara dan diesel. Kita masih bergantung pada bahan bakar fosil. Itu adalah satu sektor yang sumbangan emisinya tinggi sehingga coba kita kurangi," jelasnya.
Sebagai informasi, Indonesia membidik penurunan emisi karbon mencapai 29 persen melalui kemampuan sendiri dan 41 persen melalui dukungan internasional pada 2030. (JP)