WahanaNews-Depok | Pelatuknya di 2019. Meletup wacana masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Presiden dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Hingga presiden dipilih delapan tahun sekali. Kendati Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak tiga kali. Hati Jokowi pasti sedang berbunga-bunga saat ini.
Konstalasi politik sengaja dibuat ruwet. Umpan lambung isu itu, ditangkap satu persatu ketua umum partai politik (Parpol). Awalnya, Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar, lalu Ketum Partai Golkar Airlangga Hartanto dan Ketum PAN Zulkifli Hasan. Diperpanjangnya masa jabatan Jokowi berkaitan dengan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu). Padahal, jelas-jelas belum lama Komisi Pemilihan Umum (KPU), memastikan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 14 Februari 2024. Di waktu bersamaan juga memilih anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota serta anggota DPD RI.
Baca Juga:
Pebalap Depok Bikin Merah Mutih Berkibar di Mandalika
Memang dalam dunia politik nggak ada yang tidak mungkin. Dalam sejarah kepemiluan bangsa Indonesia sebenarnya, memang ada beberapa kejadian yang mirip dengan wacana penundaan pemilu kali ini. Seperti pemilu dimajukan pada 1999 yang harusnya terjadwal pada 2002.Begitu pula, pada 1955, kemudian di zaman Orde Baru juga pemilu yang harusnya pada 1971 jadi bergeser penyelenggarannya ke 1972.
Mau jadi apa Indonesia bila kembali ke masa lalu. Memangnya, PKS, Partai Nasdem, Partai Gerindra, PPP rela membongkar amendemen konstitusi. Bila terlaksana, juga melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Belum lagi, perjuangan bersama-sama dengan keringat, darah, kebebasan yang terenggut tahun 1998,
Khusus PDI-P, memang terakhir Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto tetap menolak perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu. Jangan lupa partai yang satu ini sangat fleksibel, bila didalamnya ada ‘kebahagiaan’. Hanya saja, bila PDI-P konsisten dengan pendiriannya. Nama besar partai berlambang Banteng ini akan melejit suaranya.
Baca Juga:
Lebih Dekat dengan Lurah Pancoranmas, Mohammad Soleh: Dari Gowes, Sambangi Warga Bantaran Kali
Entah siapa yang menghembuskan isu tiga periode itu, bisa Jokowi bisa PDI-P itu sendiri. Playing victim itu terus dimainkan, salah satunya soal Jaminan Hari Tua (JHT). Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menerbitkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Polemik dipicu waktu pencairan. Dalam Pasal 3 Permenaker Nomor 2 Tahun 2022, manfaat JHT baru bisa didapat pekerja yang jadi peserta BPJS Ketenagakerjaan saat usia mereka sudah mencapai 56 tahun.
Kebijakan tersebut langsung disentil Jokowi. Orang nomor satu di Republik Indonesia ini langsung jadi super hero. Menaker diminta merevisi aturan tersebut. Puluhan juta pekerja mendadak bahagia. Sejuta harapan aturan dikembalikan seperti semula. Benar saja, kini kebijakan tersebut dikembalikan keaturan lama : Permenaker 19 Tahun 2015.
Ngototnya, Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartanto dan Zulkilfi Hasan sangat mendasar. Bukan akibat pandemi ekonomi jadi berat, itu hanya khiasan. Melainkan, ketiga elite besar parpol ini dalam hasil survei tidak pernah berada di lima besar. Terakhir, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis dari 15 nama yang diajukan saat survey hanya tiga yang namanya tinggi. Jika yang maju hanya Anies melawan Prabowo. Kalau dua nama ini, artinya Ganjar tidak ikut bersaing, maka Anies Baswedan mendapat 37,5 persen dan Prabowo 31,8 persen. Kemduian, jika Ganjar masuk dalam kontestasi, elektabilitas Anies dan Prabowo masih cukup bersaing. Ganjar mendapatkan 34,7 persen, Anies 23,3 persen, Prabowo 21,9 persen dan tidak menjawab/tidak tahu 20,1 persen.
Itu artinya, dengan adanya penundaan pemilu. Muhaimin, Airlangga dan Zulkifli masih ada waktu buat menampilkan pesonanya kepada khalayak luas. Muhaimin dan Airlangga saat ini yang paling getol keliling Indonesia. Dengan jabatan Menko Bidang Perekonomian dan Wakil Ketua DPR RI, membuat keduanya lincah dilapangan. Makanya, tiga sekawan ini disebut-sebut sebagai suksesor Jokowi.
Seperti ditukil Radar Depok, Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Profesor Siti Zuhro menyebut, adanya soal perbincangan tiga periode Presiden Joko Widodo (Jokowi) serta usulan diundurkannya 1-2 tahun pemilu 2024. Merupakan melanggar perubahan UUD 1945, yang paling mendasar yakni perubahan masa jabatan presiden dari yang tak terukur menjadi yang terukur. “Kepastian dan keterukuran dalam demokrasi sangat diperlukan,”
Siti Zuhro menuturkan, ide masa jabatan presiden tiga periode jelas bertentangan dengan spirit gerakan reformasi 1998. Salah satu tujuan gerakan reformasi yaitu menciptakan sirkulasi kepemimpinan yang terukur dan pasti. “Tidak hanya pemilu, tapi aturan hukum juga harus diikuti dan ditaati agar jabatan publik tidak diisi oleh orang yang sama dalam waktu yang terlalu lama,”\
Pembatasan masa jabatan presiden dua periode yang sebagaimana diatur dalam konsitusi, adalah bagian dari menjaga Negara Indonesia sebagai negara demokrasi. Pembatasan yang demikian tersebut diterima dalam praktek HAM secara universal dan bukan dianggap sebagai pembatasan HAM. “Presiden itu dipilih langsung oleh rakyat, presiden juga tidak bertanggungjawab kepada parlemen dan sebaliknya presiden tidak dapat membubarkan parlemen, dan presiden memilih secara langsung pemerintahan yang dibentuknya,” katanya.
Analis Sosial Politik, Ubedilah Badrun mengungkapkan, argumen menunda pemilu atau memperpanjang jabatan Jokowi sangat lemah dan bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. “Sejauh ini Jokowi diam saja, dalam budaya politik Jawa jika diam itu maknanya dua yaitu setuju dan sedang berfikir,”
Menurut Ubedilah, maknanya seperti punya minat pada diri Jokowi untuk menunda pemilu. Karena yang menyampaikan ke publik tidak tanggung-tanggung yaitu ketua partai koalisi yang merupakan salah satu partai besar (Golkar) dan dua partai berbasis masa mayoritas Islam (PKB dan PAN). Maka dari itu, Jokowi harus mengambil sikap dengan melakukan klarifikasi soal penundaan pemilu 2024.
“Seharusnya jika memahami konstitusi UUD 1945 Jokowi menolak penundaan itu. Yang sudah ditolak Jokowi adalah agenda 3 periode dan menolak didorong nyapres lagi. Tetapi menunda pemilu Jokowi belum bersuara,”.
Nama Jokowi memiliki sembilan arti yang diambil dari kamus bahasa Indonesia dan Jawa. Nama Joko itu bisa berarti seorang lelaki muda, anak muda atau bisa saja diartikan pemuda yang sukses. Sementara itu, Widodo bisa juga berarti sejahtera, keteguhan, kebijaksanaan. Arti lainnya merupakan padanan pengaruh dan kekuasaan. Seluruhnya ada 9 arti yang melingkupi nama Joko Widodo. Jika digabungkan bisa saja disebutkan anak muda yang cakap dengan memiliki pengaruh dan kekuasaan.
(JU)