WahanaNews Jabar | Diskursus tentang pembudidayaan kelapa sawit masih menjadi polemik nasional. Ada yang pro/mendukung pemanfaatannya, ada juga yang kontra/ menentang dengan alasan berdampak pada perubahan iklim dunia.
Untuk itu, Yayasan Pusaka Kalam dan Relawan Jaringan Rimbawan (RJR) mengadakan diskusi Debat Terbuka “Peran Kelapa Sawit Dalam Perubahan Iklim Dunia” di Restoran Korea Bulgogi, Jakarta Timur Senin (4/10/2021).
Baca Juga:
GAPKI Desak Pembentukan Badan Sawit Nasional di Bawah Pemerintahan Prabowo
Tampil Sebagai pembicara antara lain Prof. Dr. Yanto Santosa (Pakar kehutanan Yayasan Pusaka Alam)., Petrus Gunarso (Kepala Divisi Riset, Kebijakan dan Advokasi RJR), dan Dr. Sadino, S.H., M.H. ( Pakar Hukum Kehutanan). Serta tiga orang Penanggap yaitu Dr. Gulat Manurung (Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Prof. Dr. Sudarsono Soedomo (Guru Besar IPB University) dan Dr. Purwadi (Pakar Pengelolaan dan Penyediaan Sumber Daya Manusia bagi Perkebunan Sawit Indonesia dari Instiper).
Dalam pemaparannya, Prof. Yanto Santosa, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University, menguraikan berbagai tekanan dan diskriminasi yang ditujukan kepada kelapa sawit. Kendati tinggi produktivitasnya dan berkontribusi bagi negara faktanya tanaman emas hijau ini mengalami diskriminasi luar biasa. Diskriminasi terhadap sawit dilakukan oleh lembaga internasional dan institusi negara.
Dalam makalah singkatnya berjudul Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Hutan diuraikan 6 fakta diskriminasi yang diterima kelapa sawit. Pertama, FAO tidak mengkategorikan kelapa sawit sebagai tanaman hutan.
Baca Juga:
Harga CPO Naik Signifikan, Dorong Pertumbuhan Ekspor Indonesia
”Bayangkan, tanaman seperti bambu, sagu, dan aren masuk kategori tanaman hutan. Satu famili palmae. Lalu kenapa sawit bukan kategori hutan. Ini (definisi) FAO. artinya terjadi diskriminasi terjadi di tingkat internasional,” ungkap Prof. Yanto Santosa.
Kedua, Kementerian LHK tidak mengijinkan tanaman kelapa sawit ditanam di kawasan hutan produksi.
Ketiga, Penolakan Permenhut No.62/2019 untuk memasukkan kelapa sawit sebagai tanaman Hutan Tanaman Industri (HTI). Dalam beleid ini tegas Yanto Santosa, ada tiga kategori tanaman yang masuk pembangunan HTI yaitu tanaman hutan berkayu, tanaman budidaya tahunan yang berkayu, dan tanaman jenis lainnya seperti rumput gajah, kelapa, aren, pinang, sagu, bambu. Tetapi tanaman sawit tidak masuk ketiga kategori tadi.
“Anehnya pasal 13 permenhut 62/2019 menjelaskan tanaman hutan berkayu, tanaman budidaya tahunan yang berkayu, dan tanaman jenis lainnya yang digunkaan untuk biofuel dan biomassa kayu itu boleh dijadikan tanaman HTI. Tetapi kenapa sawit tidak boleh. Jelas ini bentuk diskriminasi nasional,” tegas lulusan S-3 Universite Paul Sabatier Toulouse III, Perancis.
Keempat, kelapa sawit yang luasnya 16,3 juta tidak dihitung sebagai penyerapan gas rumah kaca. Prof Yanto menguraikan bahwa kelapa sawit ini juga melalui proses fotosintesa dan respirasi yang dapat menyerap emisi karbon.
“Dari penelitian berbagai pakar bahwa laju fotosintesa kelapa sawit lebih tinggi daripada hutan tropikal. Karbon stok hutan alam tinggi karena usia tanamannya sudah berpuluh tahun. Tetapi kelapa sawit ini usianya hanya 25 tahun. Jika menghitung dari karbon stok tidak fair karena umurnya berbeda,” tegas Prof Yanto lagi.
Itu sebabnya, lebih fair menghitung penghematan emisi dari laju respirasi dan fotosintesa. Selain itu, biomassa kelapa sawit lebih tinggi dari tanaman lain.
Kelima, kelapa sawit yang ditanam di kawasan hutan dan selalu dituding sebagai deforestasi. Tetapi tuduhan ini tidak berlaku kepada tanaman lain seperti karet, akasia, dan aren.
Menurut Prof. Yanto, kontribusi kelapa sawit bagi deforestasi global sangat kecil dibandingkan kegiatan peternakan dan pertanian lainnya. Penyumbang deforestasi terbesar adalah peternakan sapi di Amerika Selatan 24,3% disusul kebakaran 17,3%, perluasan kebun kedelai 5,6%, perluasan lahan jagung 3,1%. Sedangkan kontribusi sawit sekitar 2,3% merujuk data European Commision (2013).
Di Indonesia, perkembangan kelapa sawit tidak linier dengan kegiatan deforestasi. Data ini telah dilansir dari Jean Marc Roda, Peneliti CIFOR.
Keenam, kelapa sawit selalu dituding sebagai penyebab penurunan keanekaragaman hayati. Namun, tudingan ini tidaklah tepat karena sawit dapat juga meningkatkan keanekaragaman hayati seperti populasi burung, insektisida.
Jadi, menurut Prof. Yanto, sawit sangat berguna bagi iklim dunia. Bahkan, sawit bisa menghasilkan oksigen dan juga dapat berkontribusi dalam Nationally Determined Contribution (NDC) atau kontribusi sebuah negara dalam menurunkan gas emisi karbon.Sawit memiliki laju fotosintesa lebih tinggi ketimbang dengan hutan tropika.
Menurut Yanto, sawit bukanlah penyebab deforestasi terbesar di dunia. Ia merujuk pada data dari European Commission 2013 bahwa ranch sapi merupakan pemicu deforestasi global dengan luas mencapai 58 juta hektare atau 24,3%. Sementara itu, perluasan kebun sawit hanya 5,5 juta hektar atau sebesar 2,3%.
Selain itu sawit juga mempengaruhi keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar. Dengan adanya kebun sawit, beberapa jenis satwa meningkat. Memang beberapa mamalia memang turun, tapi untuk burung, kupu-kupu, herpetofauna, kepadatan cacing meningkat. (JP)