WahanaNews Jabar | Dengan melarang warganya yang tidak divaksinasi masuk ke fasilitas publik merupakan upaya bijak pemerintah Singapura untuk mendorong warganya untuk mau divaksinasi Covid-19.
Kebijakan ini membuat sebagian warga yang masih belum mau divaksinasi Covid-19 merasa dikucilkan. Salah satunya adalah seorang ibu dua anak berusia 38 tahun bernama Ong.
Baca Juga:
Korupsi APD Covid Negara Rugi Rp24 Miliar, Eks Kadinkes Sumut Divonis 10 Tahun Bui
Melansir detikcom Ong masih ragu untuk divaksinasi Covid-19 karena khawatir dengan risiko efek samping yang dapat ditimbulkan dari vaksin Pfizer atau Moderna.
"Saya khawatir tentang miokarditis (radang otot jantung), yang merupakan salah satu efek samping yang merugikan dari vaksin," ujarnya.
Namun, karena kebijakan pembatasan untuk orang yang tidak mau divaksinasi, Ong merasa tertekan. Akhirnya, ia memberanikan diri untuk divaksinasi Covid-19.
Baca Juga:
Kasus Korupsi APD Covid-19: Mantan Kadinkes Sumut Dituntut 20 Tahun Penjara
"Saya merasa seperti orang yang terbuang," kata Ong.
"Jadi saya dengan terpaksa memutuskan untuk mendapatkan vaksin, sehingga saya bisa memiliki rasa kebebasan lagi," sambungnya.
Ong memilih untuk divaksinasi dengan vaksin Pfizer. Ia hanya mengalami efek samping ringan, seperti lelah dan mual selama dua hari.
Dalam aturan yang mulai berlaku pada 10 Agustus, orang yang belum divaksinasi di Singapura memang masih dapat beraktivitas di ruang publik. Namun, mereka harus menunjukkan hasil negatif tes Covid-19 dari klinik medis yang disetujui dengan biaya SGD 30-65, atau Rp 317 ribu sampai 687 ribu.
Bagi orang seperti Ong, ada perasaan frustasi dengan pengumuman kebijakan yang baru ini. Tak sedikit dari para antivaksin yang merasa kesal dengan peraturan tersebut.
"Orang-orang yang divaksinasi hanya melanjutkannya, namun para antivaksin menjadi trauma dan meluapkan kemarahannya di media sosial," ujarnya.
Diketahui, per 13 September 2021, sebanyak 81 persen dari 5,9 juta penduduk Singapura telah divaksinasi Covid-19 secara penuh. (JP)