WahanaNews.co I Mantan Perdana Menteri Islandia, Geir H. Haarde pernah mengatakan Bahan bakar fosil di negeri ini hanya menyumbang 0,1% dari penggunaan energi nasional, yang digunakan sebagai bahan bakar mobil dan armada penangkapan ikan.
Baca Juga:
Mengenal Presiden Perempuan Pertama di Dunia, Seorang Dosen Bahasa
Pernyataan tersebut terdengar mustahil mengingat saat ini konsumsi bahan bakar fosil terutama migas dan batubara mendominasi pemenuhan kebutuhan energi dunia.
Namun hal tersebut tidak berlaku di negara pulau yang terletak di sebelah utara Samudera Atlantik bernama Islandia. Kebutuhan energi Islandia disokong oleh dua sumber energi terbarukan, tenaga hidro dan geothermal (panas bumi).
Baca Juga:
4 Negara Paling Bahagia di Dunia
Dari kedua sumber energi inilah 99% listrik dan lebih dari 70% kebutuhan energi Islandia terpenuhi. Saat ini Pemerintah Islandia tengah gencar mengupayakan negara tersebut menjadi negara yang 100% bebas bahan bakar fosil.
Walaupun tidak memiliki memiliki cadangan batubara, Islandia diberkahi dengan wilayah gletser luas yang menghasilkan air dengan volume besar yang dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik untuk memenuhi kebutuhan 75,4% energi nasional mereka.
Negara yang terletak 300 kilometer di sebelah timur Greenland tersebut juga dikelilingi oleh gunung api sebagai penghasil energi panas bumi yang cukup besar yang juga dimanfaatkan sebagai tempat wisata air panas. Bagi para wisatawan, bersantai di sumber air panas di Islandia Blue Lagoon, tepat di luar ibukota Reykjavik, merupakan pilihan terbaik menikmati musim dingin di Islandia.
Namun, tidak banyak wisatawan yang tahu bahwa air panas tersebut merupakan hasil perjalanan yang luar biasa dari sebuah negara yang berhasil melepaskan diri dari ketergantungan terhadap energi fosil.
Sejarah Pemanfaatan Panas Bumi Islandia Energi panas bumi di Islandia ditemukan secara kebetulan. Pada tahun 1907, seorang petani di Islandia Barat mengambil uap dari air panas yang mengalir di bawah tanah pertaniannya melalui pipa beton yang masuk ke rumahnya untuk digunakan sebagai air panas.
Apa yang dilakukan petani ini kemudian dicontoh petani-petani lain, dan berkembang pemanfaatannya di wilayah perkotaan pada tahun 1930-an. Krisis minyak tahun 1970-an memaksa Pemerintah Islandia untuk mengubah kebijakan energi mereka.
Dengan meningkatnya biaya penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar, pemerintah berusaha mengganti minyak bumi dengan tenaga hidro dan panas bumi yang banyak terdapat di Islandia. Pemerintah mengalokasikan dana untuk melakukan eksploitasi sumber daya panas bumi di daerah baru serta membangun sistem transmisi pipa dari sumber panas bumi ke kota, desa dan wilayah peternakan.
Ketika krisis minyak berakhir di tahun 1980-an, negara-negara lain kembali kepada minyak bumi, namun Islandia tetap konsisten dengan pengembangan panas bumi dan terus membuat kemajuan dalam pengembangan energi terbarukan. Keberhasilan negara tersebut mengembangkan energi terbarukan menjadikan Islandia menghasilkan teknologi baru di bidang ini yang banyak diadopsi oleh negara-negara lain.
Pada tahun 2010, Pemerintah Islandia menargetkan listrik yang dihasilkan dari sumber panas bumi menjadi dua kali lipat dari sebelumnya, dengan tetap berkomitmen untuk menyeimbangkan kebutuhan ekonomi terhadap dampak lingkungan.
Pemanfaatan panas bumi di Islandia dilakukan melalui metode yang sederhana. Pengeboran dilakukan di wilayah yang disinyalir sebagai sumber panas bumi. Uap yang dikeluarkan oleh sumber panas bumi kemudian digunakan untuk memutar turbin dan memompa air yang disalurkan ke pemukiman.
Selain uapnya, air panas bumi digunakan untuk memanaskan sekitar 90% gedung dan perumahan di Islandia. Panas bumi juga dimanfaatkan untuk memanaskan trotoar dan tempat parkir agar bebas salju di musim dingin. Air panas dari mata air dipompa langsung ke keran menuju rumah untuk menghemat energi untuk pemanas air.
Saat ini tercatat lima Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) besar di Islandia untuk memenuhi sekitar 24% kebutuhan listrik negara berpenduduk 500.000 jiwa tersebut. Kelima PLTP tersebut adalah Pembangkit Svartsengi, Pembangkit Nesjavellir, Pembangkit Krafla, Pembangkit Hellisheioi, dan Pembangkit Reykjanes. Pembangkit Svartsengi dan Pembangkit Nesjavellir menghasilkan listrik dan air panas, sedangkan tiga lainnya hanya menghasilkan listrik.
Belajar dari IslandiaIndonesia memiliki beberapa kesamaan dengan Islandia. Pertama, Indonesia dan Islandia sama-sama memiliki potensi energi panas bumi yang cukup besar. Kesamaan kedua, dua negara ini sama-sama memiliki kesamaan geologis.
Islandia terletak di lempeng Amerika dan Eurasia, sementara Indonesia terletak di lempeng Eurasia, Samudera Hindia dan Pasifik. Karena terletak pada zona pertemuan lempeng, baik Indonesia maupun Islandia merupakan kawasan yang rawan gempa.
Apabila Islandia sudah mengembangkan potensi panas bumi mereka sehingga panas bumi sudah dominan dalam pemakaian energi di sana, sudah seharusnya Indonesia yang memiliki potensi sebesar 28 GW bisa menjadikan panas bumi sebagai salah satu sumber daya energi andalan disamping sumber daya energi lainnya.
Upaya terobosan dalam pengembangan energi panas bumi adalah mewujudkan program percepatan pembangunan listrik 10.000 MW Tahap II, dimana panas bumi ditargetkan sebagai salah satu sumber utamanya dengan porsi mencapai 48%. Apabila program tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dan sesuai rencana, bukan tidak mungkin bila suatu saat nanti panas bumi menjadi sumber energi dominan di Indonesia seperti halnya di Negara Es yang telah berhasil melepaskan diri dari ketergantungan terhadap minyak bumi. (dikutip dari berbagai sumber). (JP)