"Inti dari ketiga poin ini, menunjukkan bahwa Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi Psikotropika 1971 harus dimaknai dengan konteks kesehatan, ketersediaan obat-obat, dan juga tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, dan justru bukan untuk pelarangan atas kegunaan secara legal yang dilakukan oleh negara-negara, serta menghukum bagi penggunanya," beber Asmin.
Konteks lahirnya kedua konvensi ini adalah kemampuan kontrol negara atas zat-zat yang masuk list penggolongan serta pemanfaatan zat tersebut guna layanan kesehatan dan juga ilmu pengetahuan. Konvensi Tunggal Narkotika berfokus pada pelanggaran dan peredaran dimaksudkan bagi mereka yang dilakukan tanpa izin. Bukan pengguna narkotika melalui izin atau license yang sudah ditetapkan oleh negara.
Baca Juga:
Polisi Nyamar Jadi Pemudik, Warga Sidoarjo Ditangkap Bawa Ganja 42 Kg dari Aceh
"Bahkan, melalui protokol Konvensi Narkotika Tahun 1972, perdebatan pengguna narkotika yang bukan untuk kepentingan kesehatan dan juga ilmu pengetahuan, misalnya budaya dan sosial masyarakat diperbolehkan sebagai bagian dari yang disebut sebagai quasi medis atau traditional used (penggunaan secara tradisional). Hal ini terlihat bagaimana konvensi narkotika berkembang sesuai dengan tujuan negara meratifikasi konvensi tersebut, yaitu melakukan pengaturan atas zat untuk dapat, dan mampu mengontrol, serta mencegah masuknya peredaran narkotika tanpa izin negara peserta," tutur Asmin.
Asmin berharap sudah saatnya memaknai hak atas kesehatan dalam Konvensi Tunggal Narkotika dan implementasi Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009.
"Dalam memaknai konteks Konvensi Tunggal Tahun 1961, sayangnya Pemerintah Indonesia hanya melakukan interpretasi atas pelarangan penggunaan narkotika. Hal ini tertuang dalam berbagai pasal Undang-Undang Narkotika," pungkasnya.
Baca Juga:
WNA Asal Papua Nugini Ditangkap Gegera Barter Paket Ganja Rp30 Juta dengan Senpi
Sidang judicial review UU Narkotika itu diajukan oleh Dwi Pratiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayati, yang meminta MK melegalkan ganja untuk kesehatan. Dwi merupakan ibu dari anak yang menderita cerebral palsy, yakni lumpuh otak yang disebabkan oleh perkembangan otak yang tidak normal. Sedangkan Santi dan Nafiah merupakan ibu yang anaknya mengidap epilepsi. (JP)