WahanaNews Jabar | Pembagian harta warisan sudah menjadi hal biasa bagi setiap orang, terutama mereka yang berusia muda ketika diberi harta peninggalan oleh orangtuanya.
Namun, hal ini bisa menjadi riskan karena acap kali terjadi perselisihan antara seorang yang diberi warisan.
Baca Juga:
Festival Permainan Tradisional di Madina: Menghidupkan Warisan Leluhur
Dalam pembagian harta warisan memiliki cara dengan menempuh prosedural hukum negara.
Namun, tidak ada salahnya jika menyelesaikan persoalan harta warisan berdasarkan hukum agama, khususnya hukum Islam.
Berdasarkan electronic book atau e-book yang dikeluarkan Kementerian Agama melalui cendikia.kemenag.go.id, pembagian waris dalam Islam memiliki ciri mendasar dengan pemberian bagian harta berdasarkan bilangan pecahan yang sudah ditentukan, atau dikenal dengan istilah furudh muqaddarah.
Baca Juga:
Peringatan Harkitnas ke-116 di Samosir: Refleksi Teknologi dan Warisan Boedi Oetomo
Adapun bilangan pecahan yang biasa digunakan dalam pembagian harta warisan dalam Islam yaitu ½, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, dan 2/3.
Bilangan pecahan berderet ini merupakan bentuk penyedehanan untuk memudahkan ahli waris mengetahui berapa hak yang ia terima dari warisan tersebut.
Adapun pihak yang berhak mendapatkan harta pusaka untuk pihak laki-laki, yaitu anak laki-laki, cucu lelaki dari anak lelaki, bapak, kakek dari bapak sampai ke atas (silsilah), saudara sekandung, saudara seayah, saudara seibu, anak lelaki dari saudara sekandung, anak lelaki dari saudara seayah, paman yang sekandung dengan ayah si mati, paman yang seayah dengan ayah si mati, anak lelaki dari paman yang sekandung, anak lelaki dari paman yang seayah, dan suami.
Sedangkan untuk perempuan yang mendapatkan harta pusaka, yaitu anak perempuan, cucu perempuan dari anak lelaki dan terus ke bawah, ibu, nenek dari bapak sampai ke atas, nenek dari bapak sampai ke atas, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan sebapak, saudara perempuan seibu, dan istri. (JP)