WahanaNews-Depok | Ditetapkan sebagai kota paling tidak toleran se Indonesia oleh suvey Setara Institut, Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum akhirnya angkat bicara.
Uu Ruzhanul menilai, bahwa hasil survei Setara Institute yang menyebut Depok merupakan kota paling tidak toleran, tidak tepat.
Baca Juga:
Bayi Laki-Laki Ditemukan Hidup di Selokan Depok, Lengkap dengan Ari-ari
"Depok disebut kota intoleran ini juga berdampak kepada Jawa Barat. Kriteria ini yang dijadikan kesimpulan suatu daerah intoleran, menurut pemahaman dan kesimpulan kami di Provinsi Jabar tidak pas," kata Uu kepada wartawan di Pondok Pesantren Syaid Yusuf, Rangkapanjaya, Pancoran Mas, Depok, Senin (11/4/2022).
Uu mengaku tidak pernah menemukan hal-hal yang bersifat intoleran di Kota Depok selama menjabat sebagai Wagub Jabar dan berkeliling di Depok.
"Saya tidak sependapat Kota Depok disebut sebagai kota intoleran. Karena saya sebagai pimpinan di Jabar selalu muter, selalu tahu, pandangan dan telinga saya tidak pernah menemukan hal-hal yang membuat Kota Depok intoleran," ujarnya.
Baca Juga:
Ingat! FISIP UI Undang 2 Paslon Walkot Depok Diskusi, Ini Masalahnya
Selain itu, Uu menambahkan, banyak warga yang dari luar daerah yang menetap di Jabar kondisinya aman, meski mereka beda agama maupun suku.
Hasil survei Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Jabar, kata Uu, juga menunjukkan bahwa Jawa Barat toleran.
"Justru Jabar hasil survei, semua suku, semua agama, ada di Jawa Barat, aman. Banyak orang luar Jabar di sini yang menjadi pejabat di sini, sukses mengejar ekonomi. Mana ada permasalahan? Kan tidak ada," terang dia.
"Menurut kami (yang pas) hasil survei Pemprov Jabar yang dilaksanakan oleh Kesbangpol," pungkas Uu.
Sebagai informasi, pada 30 Maret 2022, Setara Institute merilis Indeks Kota Toleran (IKT) 2021 dengan menilai tingkat toleransi beberapa kota di Indonesia.
Dalam studinya, Setara Institute menggunakan empat variabel dan delapan indikator untuk menilai tingkat toleransi 94 kota di Indonesia.
Keempat variabel tersebut adalah:
Regulasi Pemerintah Kota: Rencana pembangunan dalam bentuk RPJMD dan produk hukum pendukung lainnya; dan kebijakan diskriminatif.
Tindakan Pemerintah: Pernyataan pejabat kunci tentang peristiwa intoleransi; dan tindakan nyata terkait peristiwa.
Regulasi Sosial: Peristiwa intoleransi; dan dinamika masyarakat sipil terkait peristiwa intoleransi.
Demografi Agama: Heterogenitas keagamaan penduduk; dan inklusi sosial keagamaan.
Kota Depok menjadi kota paling tidak toleran dengan skor paling rendah, yakni 3,577.
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani menyatakan, setidaknya ada dua alasan mengapa Depok disebut sebagai kota paling intoleran.
"Harus saya akui, problem utama di Depok dua hal yang sebenarnya bobotnya tinggi. Pertama, adanya produk hukum yang diskriminatif, yang mana eksisting dan efektif dijalankan pemerintah," kata Ismail kepada wartawan di Hotel Ashley, Rabu (30/3/2022).
Produk hukum ini memiliki bobot nilai 10 persen dari delapan indikator indeks kota toleran versi Setara Institute.
Di samping produk hukum, kepemimpinan politik di Depok dianggap tidak mempromosikan toleransi.
Padahal, kebijakan diskriminatif dan peristiwa intoleransi sama-sama memiliki bobot 20 persen dalam penilaian.
Pada Oktober 2021, Wali Kota Depok Mohammad Idris ramai dikritik karena mendadak menyegel ulang Masjid Al-Hidayah milik kelompok Ahmadiyah di Sawangan.
Penyegelan tersebut disertai intimidasi, ancaman, serta ujaran-ujaran kebencian dari sekelompok massa yang datang bersama Satpol PP Kota Depok.
"Lawan dari pemimpin yang toleran adalah pemimpin yang intoleran, dan itu terjadi di Depok. Kita bisa melihat bagaimana tidak terbukanya kepala daerah Depok terhadap kemajemukan," jelas Ismail.
Ismail menambahkan, dari empat variabel yang ada, elemen masyarakat sipil di Depok menorehkan skor cukup baik, tetapi tak cukup untuk menambal skor buruk dalam hal produk hukum daerah dan kepemimpinan politik.
Akibatnya, Depok dinilai amat terdominasi oleh salah satu agama dalam berbagai ruang-ruang publik, termasuk hingga sektor properti.
"Kalau teman-teman masuk ke Depok, bagaimana dalam 20 tahun berjalan, Depok mengalami satu proses penyeragaman yang serius atas nama agama dan moralitas," ujar Ismail.[jef]