WahanaNews Jabar-Banten | Dekan Fakultas Hukum (FH) Unika Atma Jaya, Jakarta, Asmin Fransiska, menyatakan dirinya setuju ganja untuk kesehatan dilegalkan. Asmin menyampaikan hal itu dalam sidang judicial review UU Narkotika di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Konstitusi Republik Indonesia Pasal 28H ayat (1) menjamin hak atas kesehatan, atas layanan kesehatan kepada semua. Salah satu sifat dari hak atas kesehatan adalah bahwa hak tersebut bersifat progressive realization atau pemenuhannya harus dilakukan terus-menerus secara progresif dan tidak boleh regresif atau menurun, serta diberikan dan dipenuhi tanpa diskriminasi atau nondiscriminations principle," kata Asmin, yang tertuang dalam risalah sidang MK, Selasa (31/8/2021).
Baca Juga:
Kakek di Garut Kini Kembali Masuk Bui Gegara Tanam dan Jual Ganja
"Kesalahan tafsir atas pelarangan amatlah merugikan Indonesia. Saatnya Indonesia melihat dan meninjau kembali Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 yang melarang penggunaan narkotika bagi kesehatan tanpa penundaan," Asmin menegaskan.
Dalam pandangan Asmin, kriminalisasi ganja dipengaruhi geopolitik internasional. Perdebatan dimasukkannya zat tertentu ke dalam penggolongan yang digunakan secara budaya dan sosial misalnya, bagi negara-negara yang tidak berperan dalam sebagai drafter konvensi narkotika membuat terang bahwa ada ketimpangan dalam geopolitik pembuatan konvensi yang memberikan makna dari konteks panjang tentang kolonialisasi dan juga imperialisme.
"Hal ini mendorong tarik-menarik kepentingan negara-negara yang saat itu berkuasa untuk melakukan negosiasi dan merancang konvensi dengan negara-negara produsen narkotika yang kebanyakan merupakan negara-negara di wilayah Asia serta Amerika Latin," ujar Asmin, yang concern mengenai hukum narkotika, kebijakan reformasi narkotika, dan juga hak asasi manusia itu.
Baca Juga:
Gerak Cepat Kodam II/Sriwijaya Berhasil Gagalkan Pengedaran 26 kg Ganja
Geopolitik di atas penting untuk membaca kebaruan hukum internasional dan perjanjian internasional tentang narkotika bagi Indonesia. Bukan hanya karena Indonesia adalah negara peserta Konvensi Tunggal Narkotika 1961, namun juga melihat secara holistik perjanjian ini dalam kerangka perlindungan kesehatan dan hak konstitusi warga yang juga tertuang dalam perjanjian internasional lainnya, seperti Covenant International tentang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, serta Covenant Sipil dan Politik sebagai bagian yang tidak terpisahkan.
"Masalah penggolongan tidak boleh juga terlepas dari maksud konvensi tunggal ini dibuat. Dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi Psikotropika 1971, mencakup jangkauan atas kesehatan. Dalam mukadimah konvensi disebutkan bahwa negara harus mempunyai concern terhadap kesehatan dan juga welfare of mankind, yang artinya untuk kemaslahatan umat manusia. Dan juga negara harus memastikan bahwa welfare of mankind atau kemaslahatan umat manusia diperhatikan dalam mengimplementasikan konvensi ini di dalam negaranya," papar Asmin.
Selanjutnya, kedua konvensi ini juga menyatakan bahwa mereka harus mengakui, negara-negara peserta mengakui penggunaan narkotika untuk kepentingan medis atau kesehatan yang juga tidak boleh dipisahkan bagi kepentingan seperti pain release atau penghilang rasa sakit dan juga penderitaan bagi mereka yang membutuhkan pengurangan rasa sakit yang cukup, yang layak, dan harus menjamin ketersediaan narkotika untuk tujuan medis lainnya. Negara peserta juga harus memastikan penggunaan psikotropika atau zat-zat psikotropika untuk kepentingan kesehatan, dan ilmu pengetahuan tersedia, dan dimaksudkan untuk tujuan tersebut.